Dipublish pada 2025-03-25 05:24:07, ditulis oleh FIKRI HARI RUSTIYAWAN, S.T, M.Pd
Qut ikhtiyari adalah salah satu dari peristilahan dalam fan ilmu fiqih, khususnya dalam pembahasan zakat. Yang mana merupakan sebuah 'illat dari kriteria makanan-makanan pokok. Mengandung pengertian; qut adalah makanan, yang secara umum tubuh seseorang dapat menjadi kuat dengan mengkonsumsinya, terkhusus dari golongan sebangsa biji-bijian. Adapun ikhtiyari adalah kondisi/keadaan seseorang dapat memilih untuk menjadikan makanan pokok apa sebagai konsumsi sehari-harinya, ditengah-tengah keadaan serba ada (dapat memilih), dengan kata lain ikhtiyari yaitu kondisi normal/stabil atau bahasa lain yang digunakan sebagai tafsiran dalam kitab attaqrirotu assadidah yaitu halaturrofahiyyah, yang mana lawan dari kondisi/keadaan ini disebut dengan halatul idhtirori atau halatul maja'ah (kondisi darurat, genting/kelaparan), yang contoh makanan dengan 'illat atau jenis qut idhtirori adalah paria, kacang panjang, dan timun.
Sehingga wajibnya zakat zuru' berupa qut ikhtiyari (dalam redaksi di kitab fathul mu'in) dan terdapat didalam referensi di beberapa kitab-kitab fiqih lainnya khususnya madzhab Imam As Syafi'i, seperti beras, jagung, dan gandum, adalah bukan bermakna dapat memilih hasil tanaman apa yang hendak dizakati, melainkan kesemuanya dari hasil zuru' berupa qut ikhtiyari (ma sholuha lil iqtiyati minal hububi) wajib dizakati manakala telah memenuhi syarat wajib zakatnya (sebagaimana ditaukidi/ditegaskan dalam kitab kasyifatussaja syarah safinatunnaja), seperti telah nishob, dan lain-lain. Sebab ketika seseorang mengkonsumsi salah satu dari ragam qut ikhtiyari (beras umpamanya), maka tidak lantas gandum dan jagung jadi keluar dari kriteria qut ikhtiyari, tetap ia menjadi qut ikhtiyari.
Adapun makanan pokok yang menjadi umum dikonsumsi di sebuah wilayah atau daerah tertentu itu istilah lain, istilah yang digunakan disebut dengan qutul balad, ini yang diberlakukan dalam qoidah zakat fitrah. Pada saat seseorang di wilayah yang kebiasaannya memakan makanan pokok beras misalnya, maka wajib dikeluarkan zakat fitrahnya dengan menggunakan beras. Nah, beras ini diistilahkan para ulama adalah qutil balad bagi orang demikian ini. Sehingga qut ikhtiyari yang lainnya seperti jagung dan gandum tidak wajib dizakati dalam zakat fitrah.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, jadi seringkali kekeliruan terletak dalam hal, kelemahan membedakan antara qoidah teknis zakat mal berupa zuru' dengan zakat fitrah, harus betul-betul difahami, sebab keduanya masing-masing memiliki dhobit, ketentuan yang mustaqillah (tersendiri), Seperti halnya pada 'illat yang wajib dikeluarkan dalam zakat zuru' ini, khususnya jenis makanan yang maslahat/layak untuk iqtiyat minal hubub (makanan pokok dari golongan biji-bijian) adalah qut ikhtiyari, bukan qut idhtirori bukan pula qutil balad, sebagaimana rujukan-rujukan dari beberapa kitab mengarahkan kepada makna demikian. Dan dari beberapa rujukan kitab, bahkan tidak diketemukannya 'illat qutil balad pada zakat zuru' demikian tersebut, sehingga kekeliruan fatalnya adalah menyamakan qoidah qutil balad pada zakat fitrah dengan qut ikhtiyari pada zakat mal berupa zuru'/mu'asysyarot, padahal dalam keterangan sangat jelas, keduanya berlaku ketentuan, istilah, serta teknis kaifiyyat yang berbeda.
Catatan:
Sebagai catatan penting, ilmu fiqih itu jika diibaratkan seperti masakan siap saji, kita hanya tinggal mengkonsumsinya saja, tanpa harus tahu alat dan bahannya apa dan bagaimana mengolah masakan demikian itu. Begitupula dengan hasil istinbath dalam fiqih, kita sebagai muqollid tinggal mengkaji, memahami dan mengamalkan saja, tanpa harus mendalami dengan berbagai ilmu gramatikal bahasa Arab atau sastra Arab dan lain-lain berkenaan dengan semisal balaghoh, mantiq, ma'ani, atau bayan, atau bahkan 'arudh dan syi'ir (sebagaimana sebahagian pendapat muqolllid yang ‘dianggap’ terlalu memberatkan). Itu adalah pekerjaan para ulama wira'i sekelas mubtadi atau mutawassith, atau bahkan mujtahid.
Memang sangatlah baik, jika kita sebagai awam mendalami fan ilmu sastra Arab (12 fan ilmu alat) dalam gramatikal bahasa Arab, dalam rangka untuk menopang lebih memantapkan pemahaman al-Qur'an dan al-Hadits, serta sumber hukum lainnya dari kitab, atau dapat pula digunakan sebagai bahan menyusun sebuah karya, namun apalah artinya jika kita seolah dapat menguasai rangkaian ilmu bahasa Arab tersebut, tapi dalam pemahaman hukum malah berpotensi keluar dari jalur pemahaman para ulama (murod) yang dikehendaki dalam sebuah referensi kitab (fiqih), dikarenakan tidak dibarengi dengan ketelitian dan kehati-hatian, terlebih jika dibarengi semisal hawa nafsu, terlepas dari unsur kesengajaan atau tidak, seolah menjadi terkesan "menginterpretasi" hukum dari ro'yun atau asumsi masing-masing pribadi, hal ini yang sangat tidak diharapkan.
Ibarat peluru, lebih baik cukup hanya memiliki 1, 2, atau 3 saja, tapi saat ditembakkan tepat sasaran daripada berpuluh-puluh atau ratusan peluru tak satupun misalnya yang mengenai sasaran.
Kita sebagai muqollid tentunya bukan kompetensinya untuk berfatwa, tetapi tugas kita adalah menuqil fatwa para Ulama dari kitab-kitab yang mu'tabaroh, melalui sanad keilmuan guru-guru mulia kita. Jika terjadi khilafiyah diantara para ulama, maka seyogyanya kita harus saling toleransi, namun jika terdapat kekeliruan dalam pendeknya pemahaman kita (terlebih dalam urusan kewajiban), sudah selayaknya kita saling meluruskan, dan mengingatkan dalam hal kebaikan, dengan niat baik, serta cara-cara yang baik pula.
Tambahan penjelasan dalil;
Keterangan didalam kitab syarah fathul mu'in, yakni kitab i'anatuththolibin hal. 159:
فأوجب الشارع منه شيئا لأرباب الضّرورات
Yang mengandung makna murod:
"Maka syariat telah mewajibkan darinya (qut ikhtyari) terhadap sesuatunya kepada arbabidhdhorurat".
Peletakkan kata شيئا setelah منه ، sebab dhomirnya mufrod (qut), ini menunjukkan bahwa setiap qut (ikhtiyari) wajib dizakati. Redaksi kalimatnya bukan منه شيئا ، yang mengarahkan kepada salah satu dari golongan jenis qut (ikhtiyari), sekali lagi bukan seperti itu.
Kemudian kanjeng mushonnif melanjutkan keterangannya dengan mengecualikan dari qut (ikhtiyari) yaitu makanan yang tidak menjadi pokok secara umum, yaitu تداويا او تنعّما او تأدّما ; seperti zaitun, za'faron, warosh, dan seterusnya (dari golongan makanan sampingan), serta dalam makanan pokok idhtirori yang dapat dijadikan pokok untuk dikonsumsi namun dalam keadaan darurat/kelaparan (andaikan ketika qut ikhtiyari tidak diketemukan misalnya), dengan redaksi kalimat:
فلاتجب الزكاة فی شيء منها
Peletakkan منها diujung setelah شيء في , sebab rujuknya kembali ke aneka ragam makanan yang telah disebutkan sebelumnya yaitu berbentuk jamak, dari redaksi منها في شيء ini، menunjukkan bahwa; masing-masing satu-persatunya dari aneka ragam jenis makanan tadi (yang telah dikecualikan dari qut ikhtiyari), adalah tidak wajib untuk dizakati.
Jika saja logikanya dibalik, andaikan contoh semisal ada seseorang yang menjadikan makanan pokok sehari-harinya ia mengkonsumsi zaitun atau umpamanya paria, karena memang misalnya, kesukaan dan kebiasaannya mengkonsumsi itu, sehingga tubuhnya telah terbiasa beradaptasi (diluar keumumannya manusia), padahal ditengah-tengah keadaan serba ada (qut ikhtiyari melimpah; beras, jagung, gandum tidak sulit didapatkan), tetap walau demikian, jika ia umpama bercocok tanam dan pada saat ia memanen zaitun atau paria tadi, maka tidak ada kewajiban zakat. Sebab zaitun menurut pandangan syara' adalah tergolong kelompok makanan sampingan (bukan pokok), dan begitupula paria adalah tergolong qut idhtirori (dalam hal ini patokannya adalah ketentuan menurut syara', bukan kebiasaannya ia).
Lalu istilah ارباب الضّرور ات ، adalah merupakan penegasan yang khithobnya kepada kita-kita (selaku muslim yang merdeka); orang-orang yang 'membutuhkan' untuk mengkonsumsi kepada makanan pokok, secara umum.
Pengertian ارباب senada dengan makna اصحاب atau ذو , yaitu yang memiliki. Kemudian diidhofahkan dengan kata الضّرورات , bermakna butuh/kebutuhan-kebutuhan. Dengan kata lain, arbabudhdhorurot adalah orang-orang yang membutuhkan (dalam hal ini adalah kebutuhan terhadap makanan-makanan pokok).
Pada mulanya kita butuh kepada jagung, beras, gandum dan makanan pokok ikhtiyari lainnya, hanya saja kita telah menjatuhkan pilihan kepada beras, sehingga seolah-olah kita tidak butuh lagi kepada jagung dan gandum, serta qut ikhtiyari lainnya. Padahal hal demikian ini (umumnya kebiasaan makanan pokok kita), tidak mengubah kita menjadi keluar dari kriteria arbabudhdhorurat, tetap saja kita dikategorikan demikian, yang kena kewajiban khitob untuk mengeluarkan zakat zuru' ini berupa aneka ragam qut ikhtiyari, tentu manakala telah terpenuhinya syarat-syarat kewajibannya.
(Analogi sederhana):
Layaknya kita memiliki benda tajam; pisau, belati, dan golok. Ketika kita biasa hanya menggunakan salah satu dari ketiganya, pisau saja (umpamanya), maka tidak lantas berarti kemudian belati dan golok tidak menjadi senjata tajam, apalagi berubah menjadi kelompok benda tumpul, tidak! Tetap status 'illat keduanya merupakan benda tajam, terlepas kita gunakan ataukah tidak.
Ilustrasi analogi:
Saat ada perintah dari penguasa (wilayah A); "setiap warga yang memiliki benda tajam yang layak digunakan untuk menyembelih ayam, seperti pisau, belati, dan golok, harus dikumpulkan di balai kampung!", maka jika memiliki ketiga-tiganya, kita harus mematuhinya untuk membawa kesemuanya, sebab ketiganya (pisau, belati, dan golok), bisa untuk digunakan menyembelih ayam, tanpa mempertimbangkan digunakan ataukah tidak, terlebih selain kriteria, bahkan jenis-jenisnya telah disebutkan dalam muatan instruksinya. Kecuali umpama kalau memang kita hanya memiliki belati, ya berarti hanya belati saja yang kita bawa, yang 2 jenis lainnya tidak memiliki, atau bahkan ketiganya kita tidak punya, berarti ya sudah tidak usah ke balai kampung membawa apa-apa. "Berbeda dengan silet, cuter, dan gunting, walaupun tergolong benda tajam tidak usah dibawa ke balai kampung, karena walaupun bisa digunakan menyembelih, tapi hanya dalam keadaan darurat saja, tidak layak untuk digunakan sehari-hari menyembelih ayam." Lanjutan instruksinya.
(Ilustrasi lanjutan sebagai perbandingan);
Berbeda halnya pada (wilayah B), seruan perintahnya adalah, "setiap warga yang memiliki benda tajam yang layak digunakan untuk menyembelih ayam, seperti pisau, belati, dan golok, harus dikumpulkan salah satunya di balai kampung, sesuai kebiasaan (umumnya) benda tajam apa yang digunakan." Maka jika kita biasa menggunakan pisau, berarti kita kumpulkan pisau saja, begitupula jika biasa menggunakan belati, berarti yang dibawa ya hanya belati saja, demikian halnya dengan golok.
Kesimpulan
Deskripsi/ilustrasi analogi ‘wilayah A’ itu untuk qutin ikhtiyariyyin (semisal: beras/padi, jagung, dan gandum) yang menjadi 'illat pada zakat mal berupa hasil zuru'/mu'asysyarot, dan pemisalan benda tajam darurat yang dapat digunakan untuk menyembelih (seperti: silet, cuter, dan gunting) adalah pentasybihan dari qut idhtirori (seperti misalnya: paria, kacang panjang, dan mentimun), dalam hal zuru' ini, qut idhtirori adalah tidak wajib dizakati. Sementara deskripsi analogi ‘wilayah B’ adalah qutil balad yang menjadi 'illat pada zakat fitrah (yang wajib dikeluarkan salah satunya dari jenis makanan pokok dalam suatu daerah yang umumnya biasa dikonsumsi di daerah tersebut). Jelas keduanya (antara zakat mal yang khususnya berupa zuru' dengan zakat fitrah) memiliki karakter aturan tersendiri, dan amatlah keliru dalam pemahaman, apabila disamaratakan terkait pola aturan pada keduanya.
Wallahu a'lam bishsshowab, Asta'fiikum,
Salam hormat, Semoga bermanfa'at.
Referensi: